http://www.ugm.ac.id/index.php?page=headline&artikel=402
Waktu itu tumpukan kardus yang berisi berkas-berkas kantor sebagai mantan Gubenur Kalimantan Timur (Kaltim) masih tertumpuk di sudut ruang tengah rumahnya. Dia belum sempat membereskan dokumen-dokumen yang terdapat di dalam kardus-kardus itu. Maklumlah saja, ketika itu dia baru saja menyelesaikan tugasnya sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Kaltim.
Siapakah dia? Tidak lain dan tidak bukan, Drs. Yurnalis Ngayoh,
MM. Dengan senang hati dia menerima reporter Kabar UGM. Dia lantas
mengajak duduk berhadapan di sebuah meja kecil. Kisahnya mengalir
dengan deras. Sesekali dia melirik foto keluarganya yang berada di
dinding, persis di belakang tempat duduknya.
Pak
Ngayoh, 66 tahun, lahir dan tumbuh dalam lingkungan yang terbatas dalam
akses pendidikan dan pekerjaan di Desa Benung, Kecamatan Barong
Tongkok, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Ayahnya adalah seorang kepala
adat besar suku Dayak Tunjung Benuaq. Pak Ngayoh merupakan anak kelima
dari enam bersaudara. Dia seorang pekerja keras. Selepas menamatkan
SMAnya di SMA Katolik Don Bosco, Samarinda, dia berencana kuliah di
Jawa. Kondisi ekonomi orangtuanya yang pas-pasan tidak mengendorkan
semangatnya untuk sekolah. Melihat semangat yang besar ini, warga adat
Barong Tongko pun merasa terharu. Mereka menyumbangkan biaya semampu
mereka untuk Pak Ngayoh. Sumbangan itu, setelah dihitung, ternyata
mencapai Rp 800.
"Ada yang menyumbang, 5 perak, 25 perak, 125 perak. Nama semua
warga yang menyumbang saya catat," kata Ngayoh, mengingat masa lalunya.
***
Pak Ngayoh kuliah di Fakultas Ekonomi UGM, Jurusan Ekonomi Umum.
Ketika kuliah, dia tinggal di asrama Realino, di Jalan Gejayan. Di
asrama ini juga tinggal berbagai mahasiswa yang berasal dari seluruh
pelosok nusantara.Tidak berlebih-lebihan bila dia menyebut asrama
Realino sebagai Indonesia kecil.
Di asrama Realino, Pak Nagayoh menjadi pengelola koperasi. Dibantu oleh kawan-kawannya, dia menjual telur itik. Telur itik ini dibelinya di Muntilan dan dijual ke berbagai warung. Di samping itu, dia menjual rokok yang dibelinya secara grosiran di pasar Beringharjo.
Kendati begitu, Pak Nagayoh tetap rajin kuliah. Dia bahkan rajin mencatat. "Aku dikenal sebagai sosok yang rajin. Catatan kuliahku rapi dan sempurna. Bahkan teman-teman sering meminjam catatanku, meskipun mereka juga punya catatan sendiri. Apalagi jika menghadapai ujian. Kecepatananku dalam berhitung adalah karunia Tuhan yang selalu kusyukuri. Pada kuliah statistik, banyak teman yang wajahku berlipat-lipat. Tetapi, aku dengan segar-bugar melahapnya," kenang Pak Ngayoh.
Prinsip hidup sederhana dan nyambi kerja pada saat kuliah benar-benar dilakoniya. Pak Ngayoh. Apalagi waktu itu kiriman uangnya sering datang terlambat. Menunggu kiriman uang datang, semua harta benda yang dia miliki pun ludes digadai sekadar memenuhi kebutuhan hidupnya selama di Yogya. "Selama kuliah saya hanya memiliki pakaian tiga hingga empat stel pakaian, karena pakaian saya jual sekedar untuk bisa hidup dan memutar uang itu untuk usaha," ujarnya.
***
Selesai memperoleh gelar sarjana ekonomi tahun 1967, Pak Ngayoh pulang ke Samarinda. Dia langsung menghadap salah seorang uskup Katolik yang telah ikut membantu biaya kuliahnya. Oleh Uskup tersebut dirinya dipertemukan dengan salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kaltim. Oleh sang anggota dewan, Pak Ngayoh diantar menghadap Gubernur Kaltim, Wahab Sahlan. Hasilnya? Dia diminta sang Gubernur mengajar di Institut Pemerintahan Dalam Negeri Samarinda.
Selain mengajar di IPDN, Pak Ngyoh juga mengajar di beberapa SMA di Samarinda. Profesi sebagai guru ini dilakoninya dari tahun 1968 hingga tahun 1975. Sebagai dosen di IPDN, dirinya juga sempat menjabat bendahara, Pembantu Rektor III dan Pembantu Rektor II.
Perjalanan karir Pak Ngayoh berubah saat dirinya ditunjuk oleh Gubernur Kaltim menjadi Sekwilda Kabupaten Pasir. Setelah lima tahun menjabat Sekwilda Kabupaten Pasir, Pak Ngayoh dipindahkan ke Kabupaten Kutai. Setelah tujuh tahun menjabat Sekwilda Kabupaten Kutai, Pak Ngayoh diangkat menjadi Kepala Biro Pembangunan di Pemprov Kaltim. Dua tahun kemudian, dia dipindahkan ke Balik Papan sebagai pembantu gubernur (residen). Di sini dia berkarya selama sembilan tahun.
Melihat perjalanan karir Pak Ngayoh, kita tentu mengerti bahwa dia adalah seorang birokrat karir. Dia menapaki karirnya dari bawah. Dia sangat mengerti seluk-beluk pemerintahan di Kaltim. Inilah yang membuatnya kemudian dipercaya menjadi Pejabat Sementara (Pjs) Kalimantan Timur.
Sebagai seorang birokrat karir, Pak Ngayoh tidak pernah menjadi aktivis partai. "Saya tidak pernah masuk partai politik. Dulu, seorang pegawai negeri otomatis menjadi anggota Golkar. Saya malah sempat menjadi pimpinan Golkar Kaltim," tambahnya.
***
Dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang birokrat, diakui Pak
Ngayoh, dia sedikit banyak dipengaruhi oleh ajaran dari orang tuanya.
Sebagai orang yang tumbuh dalam lingkungan Dayak yang kental, Pak
Ngayoh memang sosok yang sangat teguh memegang nilai-nilai tradisinya. "Ayah saya banyak berpengaruh dalam pembentukan pribadi saya," ujarnya.
Pak Ngayoh mengaku bahwa dia sangat menghormati orang lain. "Saya sering memangggil orang dengan sebutan 'Pak' padahal ia masih remaja," tuturnya sambil terkekeh.
***
Sebagai kepala adat besar, ayahnya adalah pemimpin adat warga barong tongkok, yang tingga di rumah Lou. Rumah Lou atau Lamin adalah rumah berbentuk panggung, tingginya kurang lebih dua setengah meter, panjangnya puluhan hingga ratusan meter yang mampu menampung ratusan orang termasuk juga para penghuni. Di tempat itu selain sebagai tempat tinggal para sanak keluarga, Lou kerap juga menjadi penampungan bagi anggota adat yang mengalami kesulitan hidup, tertutama perempuan janda, orang jompo, orang miskin dan orang yang sedang jatuh sakit.
"Kami orang dayak memang tidak mengenal lembaga sosial, tapi alam memberi kami pelajaran yang cukup bagaimana menciptakan keseimbangan hidup. Yang kuat harus melindungi yang lemah dan yang lemah harus digandeng tangannya agar mampu mempertahankan hidup," ujarnya.
Pak Ngayoh mengaku, kadang-kadang masyarakat sulit memahami sikapnya. Ketika dia masih menjadi gubernur, pernah stafnya berkata padanya. "Cobalah Pak Ngayoh itu sekali-kali marah. Saya bilang, dengan bercanda, kalau saya marah, saya takut orang itu mati. Saya tidak mau hal itu terjadi. Jadi, saya nasehati saja," katanya.
Diakui Pak Ngayoh, prinsip yang selalu ia pegang dalam menjalankan amanah, yakni selalu berpegang teguh terhadap ketentuan yang ada, menurutnya semakin banyak membuat kebijakan maka akan semakin banyak yang menyimpang dari ketentuan. Padahal, sekali melakukan perilaku yang menyimpang maka akan selamanya akan menyimpang terus.
***
Selama kuliah di UGM, Pak Ngayoh banyak mendapat bekal dalam
pembentukan moral dan karakter kuat dalam dirinya. Berkat semua itu, dia
merasa malu dan mencoreng nama almamater bila melakukan kesalahan meski
hanya sedikit.
"Dari UGM ini banyak memberi bekal yang sangat berharga, dari segi moral yag sangat kuat sekali, saya sendiri merasa, apabila melakukan sesuatu yang salah seolah seperti menodai universitas ini. Saya berusaha apapun saya kerjakan, maka saya selalu serahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa," katanya.
***
Melihat seluruh kiprah Pak Ngayoh, rasanya tidaklah terlalu
berlebih-lebihan bilaWakil Presiden, M. Jusuf Kalla menyebut Pak Ngayoh
sebagai tokoh yang pantas diteladani. Pandangan ini disampaikan Pak
Jusuf dalam buku biografi Pak Ngayoh 'Obor dari Tanah Hulu'. Dalam buku
itu, Pak Jusuf menulis antara lain: "Saya bertemu Sdr. Yurnalis Ngayoh
kurang lebih sepuluh tahun lalu, sebelum dia menjadi Gubernur Kalimantan
Timur. Saat itu, dia sudah dikenal luas sebagai seorang aparatur
pemerintah yang memiliki kredibilitas dan akuntabilitas dalam memegang
tugasnya. Selain disiplin dan jujur, dia memiliki visi untuk memajukan
masyarakat, khususnya melalui pengelolaan pemerintahaan yang good
governance."
"Kita membutuhkan sosok pemimpin seperti dirinya. Sebab dengan dedikasi dan integritasnya, dia memberi keteladanan bahwa tugas dan tanggung jawab adalah hal yang prinsipil bagi nilai kemanusiaan" (wawancara dan penulisan: Gusti Grehenson; editing: Abrar).
Nice post
BalasHapus